MEDIONESA.COM – Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini telah merambah hampir semua aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul juga kekhawatiran dari para pendidik terkait batas penggunaan ai pendidikan agar tidak melampaui fungsi semestinya. Di Indonesia, diskusi ini mulai ramai dibicarakan seiring dengan makin banyaknya siswa yang memanfaatkan teknologi AI, seperti ChatGPT, dalam kegiatan belajar sehari-hari.
Batas penggunaan ai pendidikan menjadi topik penting yang dibahas oleh berbagai kalangan. Mulai dari guru sekolah dasar, pengelola sekolah swasta, hingga praktisi teknologi pendidikan. Mereka menyadari bahwa AI bukan sekadar alat bantu, tetapi juga bisa menjadi tantangan baru dalam hal etika belajar dan integritas akademik. Dalam beberapa kasus, siswa bahkan hanya menyalin hasil dari AI tanpa memahami substansinya, yang membuat proses belajar menjadi tidak efektif.
Para pendidik kini menekankan pentingnya pemahaman akan fungsi dan batas AI. Di Sekolah Cikal, misalnya, guru-guru sudah mulai menerapkan aturan dan panduan yang jelas agar siswa tidak menyalahgunakan teknologi ini. Bukan berarti AI harus dijauhkan sepenuhnya dari proses belajar, namun penggunaannya perlu diarahkan agar memberikan manfaat nyata. Guru menjadi penentu utama dalam menyelaraskan teknologi dengan tujuan pembelajaran yang bermakna.
Batas penggunaan ai pendidikan tidak hanya soal larangan, tetapi lebih pada bagaimana teknologi digunakan secara bijak. AI dapat membantu siswa dalam mengeksplorasi ide baru, memberikan inspirasi dalam menulis, atau menjadi teman diskusi alternatif. Namun ketika digunakan tanpa pendampingan dan tanpa refleksi kritis, AI justru bisa membuat siswa kehilangan daya pikir mandiri.
Di lapangan, pendekatan setiap sekolah berbeda-beda. Ada yang langsung memberikan larangan tegas untuk penggunaan AI dalam tugas sekolah, ada juga yang memperbolehkan dengan syarat siswa menjelaskan proses berpikirnya. Di Sekolah Cikal, para guru menggunakan pendekatan reflektif: siswa diajak berdiskusi mengenai bagaimana mereka menggunakan AI, kapan itu membantu, dan kapan sebaiknya tidak dipakai.
Menurut Elly Risman, salah satu pakar parenting dan pendidikan di Indonesia, penggunaan AI dalam pendidikan sebaiknya diimbangi dengan pembentukan karakter dan nilai kejujuran. Jika tidak dibatasi, anak-anak akan terbiasa mencari jalan pintas dan kehilangan semangat belajar sejati. Batas penggunaan ai pendidikan juga harus disertai dengan edukasi digital kepada orang tua dan siswa agar mereka paham dampak jangka panjangnya.
Masalah utama lainnya adalah ketimpangan akses. Tidak semua siswa memiliki perangkat atau koneksi internet yang memadai untuk mengakses AI. Hal ini menciptakan kesenjangan baru dalam proses belajar. Karena itu, beberapa sekolah mencoba mengintegrasikan teknologi secara merata, dengan memastikan semua siswa mendapat pelatihan dan fasilitas yang seimbang.
Para guru di Cikal membagi proses belajar menjadi dua bagian: satu berbasis eksplorasi digital yang terarah, dan satu lagi berbasis pengalaman nyata. Ini memungkinkan siswa memahami bahwa teknologi hanyalah alat, bukan satu-satunya sumber kebenaran. Mereka juga diberikan tugas untuk membuat analisis kritis terhadap hasil yang diberikan AI, membandingkan dengan pendapat pribadi, dan menyusun kesimpulan dari hasil diskusi.
Dalam diskusi yang lebih luas, batas penggunaan ai pendidikan juga menyentuh ranah kurikulum. Perlu ada pembaruan dalam silabus yang mencakup kompetensi digital, termasuk bagaimana menggunakan AI secara etis dan produktif. Sekolah-sekolah di berbagai negara bahkan telah mengadopsi modul khusus tentang etika AI dan penggunaan teknologi bertanggung jawab.
Indonesia perlahan juga mengarah ke sana. Beberapa sekolah swasta telah memulai inisiatif dengan mengundang praktisi teknologi untuk memberikan pelatihan kepada guru dan siswa. Kementerian Pendidikan pun mulai membuka ruang diskusi tentang masa depan teknologi dalam pendidikan, termasuk AI.
Namun, tantangan ke depan tetap besar. Teknologi berkembang jauh lebih cepat dibanding sistem pendidikan yang ada. Maka dari itu, pendidik dituntut untuk adaptif dan memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi dalam menilai kapan teknologi membantu, dan kapan justru menghambat proses pembelajaran.
Langkah awal bisa dimulai dari penyusunan kebijakan sekolah yang jelas. Misalnya, AI boleh digunakan untuk brainstorming atau mengecek ejaan, tetapi dilarang digunakan untuk mengerjakan soal ujian. Dengan aturan seperti ini, siswa tetap mendapatkan manfaat teknologi tanpa kehilangan nilai-nilai pembelajaran sejati.
Yang tak kalah penting adalah komunikasi terbuka antara guru, siswa, dan orang tua. Semua pihak harus menyadari bahwa keberadaan AI tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, lebih baik membekali siswa dengan literasi digital yang kuat dibandingkan sepenuhnya melarang teknologi masuk dalam ruang kelas.
Ke depannya, batas penggunaan ai pendidikan akan menjadi indikator kualitas sekolah. Sekolah yang mampu menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan proses belajar yang humanis akan lebih siap mencetak generasi yang adaptif dan berkarakter. AI bukan musuh pendidikan, melainkan alat bantu yang harus dikendalikan dengan bijak.