medioNesa – Lebaran memang identik dengan tradisi berbagi, mulai dari bagi-bagi THR ke anak kecil sampai ke sanak saudara. Tapi belakangan, publik dihebohkan oleh fenomena ormas minta THR wakil menteri agama yang viral di media sosial. Bukan cuma jadi perbincangan hangat netizen, aksi ini juga menuai respons beragam dari tokoh pemerintahan hingga tokoh agama. Fenomena ini pun memunculkan pro-kontra: apakah permintaan tersebut wajar sebagai bagian dari budaya Lebaran, ataukah justru perlu dikritisi karena mengandung potensi penyimpangan?
Viralnya isu ini bermula saat beberapa organisasi masyarakat secara terang-terangan mengajukan permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Romo Syafi’i. Permintaan tersebut bukan hanya muncul secara individu, tapi juga terorganisir dan menyasar tokoh negara. Menariknya, Wamenag justru memberikan tanggapan yang tidak terduga. Yuk kita bahas secara mendalam tentang fenomena ini, pendapat para pejabat, serta dampaknya terhadap persepsi publik terhadap ormas di Indonesia.
Fenomena Ormas Minta THR ke Pejabat Negara
Fenomena permintaan THR oleh ormas bukan hal baru, tapi kali ini menjadi perhatian besar karena dilakukan secara terbuka kepada pejabat setingkat wakil menteri. Dalam kasus ini, ormas minta THR wakil menteri agama dengan dalih bahwa hal tersebut adalah bagian dari budaya berbagi menjelang Idulfitri.
Momen ini ramai ketika Wamenag Romo Syafi’i secara terbuka menyebut bahwa permintaan semacam ini sebenarnya sudah menjadi budaya Lebaran yang berlangsung sejak lama. Menurutnya, selama dilakukan dengan cara santun dan tidak memaksa, ia tidak merasa terganggu. “Itu budaya kita sejak dulu. Santai saja,” ungkapnya saat diwawancarai wartawan.
Pernyataan ini pun mendapat berbagai tanggapan dari publik. Ada yang mendukung karena dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap tradisi, namun tak sedikit pula yang menganggap bahwa tindakan tersebut bisa membuka celah praktik yang tidak sehat antara ormas dan pejabat publik.
Tanggapan Berbeda dari Dirjen Bimas Islam
Meski Wamenag menganggap hal tersebut sebagai budaya lama yang tak perlu dipermasalahkan, namun tidak semua pejabat di Kementerian Agama sepakat. Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin, memberikan pandangan berbeda. Ia menegaskan bahwa pemberian THR oleh pejabat negara kepada ormas tidak termasuk dalam etika pemerintahan dan bisa melanggar prinsip netralitas serta potensi gratifikasi.
Menurut Kamaruddin, budaya meminta THR secara terang-terangan kepada pejabat negara justru harus dikoreksi karena bisa mengaburkan batas antara tradisi sosial dengan etika birokrasi. “Kita perlu bedakan antara budaya dan etika pejabat publik. Jangan sampai pembenaran terhadap budaya justru membuka ruang pelanggaran,” katanya.
Pandangan berbeda antara Wamenag dan Dirjen ini pun makin memperkuat diskusi publik, terutama di media sosial. Banyak yang mulai menyoroti peran ormas dan batas-batas etika dalam berinteraksi dengan pejabat negara.
Budaya Lebaran dan Tradisi Berbagi
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia memiliki banyak tradisi menjelang Lebaran. Salah satunya adalah saling memberi atau berbagi rezeki kepada sesama. Inilah yang kemudian dijadikan dasar pembenaran oleh beberapa pihak terkait fenomena viral ormas minta THR wakil menteri agama.
Namun dalam konteks birokrasi, tradisi ini tidak bisa diterapkan secara mentah. Ada regulasi dan kode etik yang mengatur bagaimana pejabat publik berinteraksi dengan masyarakat, termasuk ormas. Permintaan THR kepada pejabat negara bisa menjadi area abu-abu yang membingungkan antara nilai budaya dan potensi konflik kepentingan.
Dengan adanya fenomena ini, masyarakat pun semakin diajak untuk berpikir kritis. Perlu ada batasan dan edukasi agar budaya baik tidak berubah jadi celah penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh.
Etika Pejabat Publik dan Relasi dengan Ormas
Isu ini mengangkat kembali perdebatan lama soal bagaimana seharusnya pejabat publik berhubungan dengan organisasi masyarakat. Di satu sisi, ormas berperan besar dalam pemberdayaan masyarakat, sosial keagamaan, dan pengawasan kebijakan. Namun di sisi lain, jika hubungan itu bersifat transaksional, maka bisa menimbulkan persepsi negatif.
Pemberian THR kepada ormas, meski bersifat sukarela, tetap berisiko jika dilakukan oleh pejabat negara. Ini bisa menimbulkan asumsi adanya hubungan khusus atau kepentingan di baliknya. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas harus dikedepankan.
Dalam kasus ini, meskipun Wamenag menyebutkan tidak mempermasalahkan permintaan THR tersebut, tetap penting untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian, terlebih di era digital di mana setiap tindakan pejabat negara bisa cepat viral dan ditafsirkan beragam oleh publik.
Perspektif Hukum dan Gratifikasi
Dari sisi hukum, permintaan atau pemberian hadiah, termasuk dalam bentuk THR, kepada pejabat negara bisa dikategorikan sebagai gratifikasi apabila tidak dilaporkan atau tidak sesuai aturan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri telah mengeluarkan edaran khusus menjelang Lebaran agar pejabat tidak menerima bingkisan atau hadiah dalam bentuk apa pun yang bisa memengaruhi independensinya.
Jika ormas meminta THR secara langsung kepada pejabat, dan pejabat tersebut memberikannya tanpa mekanisme yang jelas, maka ada potensi pelanggaran hukum. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga integritas, baik dari kalangan ormas maupun pejabat itu sendiri.
Fenomena ormas minta THR wakil menteri agama membuka diskusi luas tentang batas antara budaya Lebaran, etika birokrasi, dan risiko hukum. Walaupun berbagi saat Idulfitri adalah hal yang baik, namun ketika dilakukan dalam relasi kekuasaan dan jabatan, perlu ada kehati-hatian dan regulasi yang mengaturnya. Masyarakat perlu didorong untuk melestarikan budaya berbagi dengan cara yang tepat, dan pejabat publik harus tetap menjunjung tinggi etika jabatan.
FAQ
Apa yang dimaksud dengan fenomena ormas minta THR ke Wamenag?
Ormas secara terbuka meminta THR kepada Wakil Menteri Agama menjelang Lebaran 2025.
Apa tanggapan Wamenag soal permintaan THR ini?
Ia menyebut itu sebagai budaya lama dan tidak merasa keberatan selama dilakukan dengan santun.
Apakah pemberian THR oleh pejabat ke ormas legal?
Secara hukum berisiko jika tidak sesuai prosedur dan bisa dikategorikan sebagai gratifikasi.
Apa pendapat Dirjen Bimas Islam?
Ia menolak praktik tersebut dan menyebutnya tidak sesuai dengan etika pejabat publik.
Apakah budaya memberi THR ke ormas masih relevan?
Masih bisa dilakukan asal tidak menyangkut pejabat publik dan tidak menimbulkan konflik kepentingan.