Kasus korupsi di lingkungan dinas pupr provinsi kalimantan selatan menjadi perhatian nasional setelah mantan Kepala Dinas PUPR Ahmad Solhan mengakui telah menerima uang gratifikasi senilai Rp12,4 miliar. Pengakuan ini disampaikan Solhan dalam sidang pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor Banjarmasin pada Rabu, 25 Juni 2025. Dalam sidang yang penuh emosi itu, Solhan bahkan tak mampu menahan tangis saat meminta keringanan hukuman di hadapan majelis hakim.
Kasus ini menjadi potret nyata bagaimana praktik gratifikasi dapat berlangsung di institusi strategis yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan daerah. Dalam pengakuannya, Solhan menjelaskan bahwa dana tersebut berasal dari pelaksana proyek dan digunakan untuk keperluan dinas di luar DIPA, bukan kepentingan pribadi. Namun, ia tetap menyadari bahwa tindakannya adalah pelanggaran hukum karena tidak pernah melaporkan penerimaan uang tersebut ke KPK.
Perkara ini juga menyeret tiga terdakwa lain, yaitu Yulianti Erlynah (mantan Kabid Cipta Karya), Agustya Febri Andrean, dan H Akhmad. Dalam sidang yang sama, seluruh terdakwa membacakan pledoi dan memberikan alasan permohonan keringanan hukuman kepada majelis hakim.
Struktur Organisasi dan Tanggung Jawab Dinas PUPR Kalsel
Untuk memahami bagaimana gratifikasi bisa terjadi, penting melihat struktur organisasi pupr kalsel dan kewenangan yang dimiliki para pejabatnya. Dinas ini membawahi banyak bidang teknis mulai dari jalan dan jembatan, cipta karya, sumber daya air, hingga tata ruang. Kepala dinas memiliki kontrol strategis atas alokasi proyek dan pelaksanaan anggaran, yang kerap menjadi celah penyalahgunaan wewenang.
Struktur organisasi dinas pupr provinsi kalimantan selatan terdiri dari kepala dinas, sekretariat, beberapa bidang teknis, dan satuan kerja teknis di kabupaten/kota. Dalam perkara ini, peran kepala dinas dan Kabid Cipta Karya menjadi sorotan karena posisi mereka sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek.
Pengakuan Ahmad Solhan dan Penggunaan Uang Gratifikasi
Mantan kadis pupr kalsel Ahmad Solhan mengungkapkan bahwa uang yang diterima digunakan untuk mendanai kegiatan di luar DIPA. Beberapa di antaranya adalah acara peresmian Jalan Banjarbaru–Batulicin, peletakan batu pertama pembangunan Kantor KPU Kalsel, hingga kegiatan keagamaan seperti Maulid Nabi di Gedung Mahligai Pancasila Banjarmasin.
Solhan menegaskan bahwa tidak ada uang yang disita dari rumah pribadinya saat OTT KPK pada Oktober 2024 lalu. Ia menyebut, tekanan sistem dan kebutuhan untuk “menambal” kegiatan dinas menjadi alasan utama kenapa ia menerima uang dari para kontraktor, meski tanpa permintaan atau intervensi proyek langsung.
Tangisan dan Permintaan Maaf di Ruang Sidang
Eks kadis pupr kalsel menangis saat memohon keringanan kepada majelis hakim. Ia merasa sangat menyesal dan mengakui kebodohannya dalam tidak melaporkan gratifikasi ke KPK. Permintaan maafnya disampaikan tulus, sembari berharap hukuman dikurangi menjadi denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp300 juta.
Sementara itu, Yulianti Erlynah juga menyampaikan permohonan serupa. Ia mengaku hanya mengikuti perintah atasannya dan tidak memiliki kuasa untuk menolak. Bahkan, ia menyebut bahwa kebiasaan menerima uang gratifikasi sudah menjadi pola lama yang tidak pernah dikoreksi oleh pemprov atau inspektorat.
Tuntutan Jaksa dan Poin Hukum yang Dilanggar
Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Solhan dengan pidana penjara 5 tahun 8 bulan, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti sebesar Rp16 miliar. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun. Sementara Yulianti dituntut 4 tahun 6 bulan penjara dan uang pengganti Rp4 miliar.
Pasal yang didakwakan adalah Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 dan 65 KUHP. Pasal ini berkaitan dengan penerimaan gratifikasi oleh pejabat publik yang dianggap suap jika tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari kerja ke KPK.
Bantahan dan Permintaan Bebas dari Dua Terdakwa Lain
Terdakwa Agustya Febri Andrean dan H Akhmad menyatakan tidak terlibat dalam pengambilan atau penggunaan uang. Mereka menyebut hanya menerima “titipan uang” dan tidak memiliki jabatan yang berhubungan langsung dengan proyek.
Kuasa hukum keduanya menolak dakwaan pasal turut serta (pasal 55) karena klien mereka tidak melakukan perbuatan secara aktif. Bahkan H Akhmad yang merupakan pengurus pondok pesantren menegaskan bahwa ia hanya menyimpan uang di lingkungan pesantren tanpa tahu asal-usulnya.
Polemik Sistemik dan Budaya Gratifikasi di Pemerintahan
Sidang suap dinas pupr kalsel tidak hanya soal individu, tetapi mencerminkan masalah sistemik dalam pengelolaan anggaran publik. Banyak program pemerintah yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh DIPA, sehingga muncul dorongan internal untuk mencari dana tambahan secara informal.
Solhan dalam pledoinya menyebut bahwa budaya ini seolah menjadi norma tak tertulis, di mana pimpinan dinas dituntut untuk “kreatif” dalam memenuhi kebutuhan operasional, termasuk membiayai kegiatan simbolik dan keagamaan.
Reaksi Publik dan Harapan Transparansi
Publik menyoroti kasus ini sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah, khususnya dalam hal pengawasan internal dan eksternal. Banyak netizen menyuarakan pentingnya pembenahan struktur organisasi pupr kalsel agar tidak terjadi lagi celah penyalahgunaan kekuasaan.
Harapan besar ditujukan kepada KPK dan sistem peradilan agar memberi putusan seadil-adilnya dan menjadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya.
Kasus dinas pupr provinsi kalimantan selatan menjadi contoh nyata betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola proyek pemerintah. Pengakuan dari Ahmad Solhan dan Yulianti Erlynah membuka mata publik terhadap budaya gratifikasi yang mengakar dan menantang untuk diberantas.
Meskipun tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, tetap saja hukum menegaskan bahwa setiap penerimaan di luar mekanisme resmi wajib dilaporkan. Sidang ini memberi pelajaran penting tentang integritas, tanggung jawab, dan pentingnya reformasi birokrasi berbasis nilai anti korupsi.