Ilustrasi Tentang #post_seo_title
Dalam beberapa minggu terakhir, dunia militer kembali dibuat heboh oleh kabar bahwa jet tempur J 20 radar milik China berhasil melintas di langit Korea Selatan tanpa terdeteksi sistem pertahanan udara negara tersebut. Peristiwa ini sontak menjadi sorotan besar, bukan hanya karena menunjukkan kecanggihan teknologi siluman China, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas radar pertahanan udara Korea dan Jepang.
Jet tempur J-20, yang dikenal juga dengan sebutan Mighty Dragon, adalah pesawat siluman generasi kelima yang dikembangkan oleh Chengdu Aerospace Corporation. Sejak debutnya pada 2011, pesawat ini telah menjadi simbol kebangkitan industri militer China. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kemampuannya telah berkembang jauh melebihi ekspektasi awal. Kini, kemampuan jet tempur J 20 radar dianggap setara bahkan di beberapa aspek melebihi F-22 Raptor milik Amerika Serikat.
Fenomena “hilangnya” pesawat J-20 di radar Korea menimbulkan kehebohan di kalangan analis militer dunia. Apakah ini menunjukkan bahwa sistem radar konvensional sudah usang? Ataukah teknologi siluman China benar-benar telah mencapai titik revolusioner yang sulit dilawan bahkan oleh negara sekutu Amerika di Asia Timur? Artikel ini akan membahas secara tuntas bagaimana pesawat ini bekerja, mengapa radar gagal mendeteksinya, dan apa arti strategis dari keberhasilan manuver udara ini bagi peta kekuatan global.
Untuk memahami kehebatan jet tempur J 20 radar, kita harus menilik sedikit ke belakang, pada awal pengembangannya. Proyek J-20 pertama kali diumumkan oleh pemerintah China pada akhir 1990-an sebagai bagian dari upaya membangun pesawat siluman yang dapat menyaingi kekuatan udara Amerika. Tujuannya sederhana tapi ambisius: menciptakan pesawat tempur yang mampu menembus radar lawan sebelum lawan itu sempat bereaksi.
J-20 adalah hasil kolaborasi panjang antara Chengdu Aerospace Corporation dan Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF). Pesawat ini pertama kali terbang pada tahun 2011, tetapi butuh hampir satu dekade sebelum akhirnya dinyatakan operasional penuh pada 2021. Sejak itu, jet tempur J 20 radar terus ditingkatkan dengan teknologi avionik, mesin, dan material siluman terbaru.
Dalam konteks geopolitik, kehadiran J-20 adalah simbol bahwa China tidak lagi hanya menjadi “penonton” dalam perlombaan teknologi militer. Ia kini menjadi pemain utama, menantang dominasi udara Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. J-20 dirancang bukan hanya untuk bertempur, tetapi untuk mengubah cara perang udara modern dijalankan.
Bagian paling menarik dari statistik dan analisis jet tempur J 20 radar adalah bagaimana pesawat ini bisa nyaris “menghilang” dari pantauan radar lawan. Kuncinya terletak pada desain aerodinamis, bahan penyerap gelombang radar (radar-absorbent material), dan penggunaan sensor inframerah pasif yang tidak memancarkan sinyal balik.
Bentuk bodi J-20 dirancang menyerupai “panah terbang” dengan sudut tajam dan permukaan miring, yang secara signifikan mengurangi pantulan gelombang radar. Selain itu, cat khusus yang digunakan di permukaannya mampu menyerap sinyal radar, membuatnya tampak seperti “bayangan” di layar deteksi. Inilah yang membuat Korea Selatan kebingungan ketika radar mereka tidak menangkap pergerakan apa pun di langit, padahal pesawat sudah melintasi zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ).
Menurut laporan dari Indomiliter.com dan Kompas Global, sistem radar Korea Selatan bahkan baru menyadari keberadaan J-20 setelah citra satelit dari Jepang menunjukkan adanya pergerakan tak biasa di wilayah udara. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa sistem radar konvensional masih rentan terhadap teknologi siluman generasi terbaru.
Kabar tentang jet tempur J 20 radar yang berhasil melintasi Selat Korea tanpa terdeteksi membuat heboh kawasan Asia Timur. Militer Korea Selatan langsung menggelar penyelidikan internal besar-besaran untuk memastikan apakah peristiwa tersebut benar terjadi dan seberapa jauh pesawat China masuk ke wilayah udara mereka.
Jepang pun tak kalah waspada. Negara itu memperkuat pengawasan udara dengan radar jarak jauh dan armada jet tempur F-15 serta F-35. Namun, hasilnya tetap nihil. Sejumlah analis menyebut bahwa insiden ini bisa menjadi “peringatan diplomatik halus” dari Beijing kepada Seoul dan Tokyo, mengingat ketegangan geopolitik di kawasan sedang meningkat.
Menurut Sindonews (2025), empat unit J-20 dilaporkan melintas dengan formasi strategis di ketinggian menengah tanpa meninggalkan jejak di radar milik Korea Selatan. Mereka hanya terdeteksi setelah melintasi garis pantai Jepang, saat sinyal radar lokal menangkap anomali inframerah kecil di ketinggian sekitar 12 ribu meter. Fakta ini membuat dunia bertanya-tanya: sejauh mana radar modern dapat diandalkan untuk menghadapi teknologi siluman generasi kelima?
Banyak pihak menduga bahwa penerbangan jet tempur J 20 radar di wilayah sensitif seperti Semenanjung Korea bukan sekadar latihan, melainkan uji kemampuan operasional dalam skenario nyata. China diduga ingin menguji seberapa efisien kemampuan siluman mereka terhadap sistem radar negara sekutu Amerika.
Selain itu, operasi ini berfungsi sebagai demonstrasi kekuatan pesan politik yang halus namun kuat. Dengan keberhasilan J-20 menembus radar lawan, Beijing ingin menunjukkan bahwa mereka kini memiliki aset udara yang sulit ditandingi. Ini sekaligus menjadi sinyal bahwa keseimbangan kekuatan di Asia telah bergeser.
Dalam analisis yang dimuat Ambisius News (2025), sumber militer menilai bahwa latihan udara seperti ini adalah bentuk “pengujian toleransi radar musuh”. Artinya, China ingin mengetahui sejauh mana sistem pertahanan lawan mampu bereaksi tanpa menimbulkan insiden diplomatik terbuka. Dengan begitu, mereka dapat memetakan area “aman” untuk operasi udara mendatang.
Ketika berbicara tentang jet tempur J 20 radar, tidak bisa dilepaskan dari perbandingan dengan pesawat siluman lain seperti F-22 Raptor dan F-35 Lightning II milik Amerika Serikat, atau Su-57 Felon dari Rusia. Meski masing-masing memiliki keunggulan tersendiri, J-20 kini dianggap paling seimbang antara kecepatan, daya jelajah, dan kemampuan menyerap radar.
F-22 Raptor memiliki keunggulan dalam manuver dan kecepatan, tetapi J-20 unggul dalam jarak tempur dan efisiensi bahan bakar. F-35 lebih unggul dalam kemampuan sensor dan komunikasi, namun kalah dalam hal kecepatan jelajah maksimum. Menurut beberapa analis dari Defense Review Asia, J-20 sudah menutup sebagian besar kesenjangan teknologi dengan F-22, terutama setelah China mengembangkan mesin WS-15 yang lebih bertenaga.
Yang paling menarik, radar AESA (Active Electronically Scanned Array) di J-20 mampu mendeteksi target pada jarak lebih dari 200 kilometer, sekaligus tetap menjaga tingkat silumannya. Dengan kombinasi ini, pesawat dapat melacak musuh tanpa memancarkan sinyal yang mudah ditangkap radar lawan.
Kehadiran jet tempur J 20 radar di langit Korea Selatan bukan hanya isu teknologi, tapi juga isu keamanan kawasan. Keberhasilan China dalam memamerkan keunggulan siluman ini menimbulkan efek domino pada strategi pertahanan regional.
Korea Selatan, Jepang, dan bahkan Amerika Serikat kini harus meninjau kembali sistem radar dan deteksi dini mereka. Jika pesawat sekelas J-20 bisa melintas tanpa terdeteksi, maka potensi ancaman terhadap aset strategis seperti pangkalan militer atau instalasi energi—menjadi sangat serius.
Lebih jauh, ini menandai pergeseran baru dalam kompetisi militer global. Tidak lagi hanya soal jumlah armada, tetapi juga soal siapa yang bisa “tidak terlihat” lebih lama. Era peperangan modern telah berubah: siapa yang lebih dulu mendeteksi musuh, dialah yang menang. Kini, China tampaknya satu langkah lebih maju dalam hal itu.
Peristiwa lolosnya jet tempur J 20 radar dari deteksi di Korea menjadi tamparan keras bagi negara-negara Barat. Amerika Serikat dilaporkan mempercepat proyek modernisasi radar jarak jauh, terutama di wilayah Pasifik. NATO juga mengadakan pertemuan darurat untuk membahas perkembangan pesawat siluman Asia ini.
Beberapa ahli menyebut bahwa kejadian ini adalah “Sputnik Moment” baru di bidang militer—sebuah momen di mana satu negara berhasil melampaui ekspektasi dan memaksa negara lain meninjau ulang seluruh strategi pertahanan mereka. AS bahkan dikabarkan sedang menguji radar kuantum yang dapat mendeteksi objek siluman berdasarkan anomali medan magnetik, bukan pantulan gelombang.
Meski begitu, banyak pihak menilai bahwa China masih memiliki jalan panjang untuk benar-benar menandingi sistem tempur terintegrasi Barat. Namun, langkah mereka jelas: terus berinovasi dan mengurangi ketergantungan pada teknologi impor.
Setelah keberhasilan besar dalam operasi udara di atas Selat Korea, pemerintah China disebut tengah menyiapkan varian baru J-20 dengan kemampuan yang lebih dahsyat. Varian ini dikabarkan akan menggunakan sistem radar pasif ganda, teknologi AI pilot assist, serta sistem komunikasi terenkripsi yang tidak bisa diretas dalam jaringan peperangan siber.
Selain itu, J-20 juga akan diproduksi lebih banyak untuk memperkuat armada PLAAF di berbagai wilayah strategis. Beberapa analis memperkirakan bahwa pada 2030, China akan memiliki lebih dari 300 unit aktif. Dengan jumlah sebesar itu, J-20 bukan hanya alat pertahanan, tapi juga alat diplomasi udara.
Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan mulai menyiapkan proyek tandingan, termasuk pengembangan jet siluman KF-21 Boramae dan peningkatan radar anti-stealth terbaru. Kompetisi ini jelas menunjukkan bahwa Asia kini menjadi panggung utama perlombaan teknologi militer dunia.
Keberhasilan jet tempur J 20 radar milik China melintas tanpa terdeteksi di wilayah Korea bukan sekadar prestasi teknologi, melainkan pernyataan geopolitik yang kuat. Dunia kini menyaksikan perubahan peta kekuatan udara di Asia, di mana dominasi tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh Amerika dan sekutunya.
China telah membuktikan bahwa inovasi dan determinasi mampu menyaingi teknologi Barat yang selama ini dianggap tak tertandingi. Dengan kemampuan siluman generasi kelima dan kecanggihan radar pasifnya, J-20 membuka babak baru dalam sejarah peperangan udara modern.
Apapun pandangan dunia, satu hal pasti: masa depan konflik udara tidak lagi bergantung pada siapa yang memiliki jumlah pesawat terbanyak, tetapi siapa yang paling sulit terlihat di radar. Dan untuk saat ini, posisi itu tampaknya dipegang oleh J-20 sang Naga dari langit Timur.
1. Mengapa jet tempur J-20 bisa lolos dari radar Korea Selatan?
Karena desain bodinya menggunakan material penyerap gelombang radar dan sensor inframerah pasif yang tidak memantulkan sinyal balik.
2. Apakah J-20 lebih canggih dari F-22 Raptor?
Dalam beberapa aspek seperti jangkauan dan kemampuan siluman, J-20 sudah mendekati F-22, tetapi Raptor masih unggul dalam manuver tempur jarak dekat.
3. Apakah radar modern bisa mendeteksi pesawat siluman seperti J-20?
Radar konvensional kesulitan, namun radar kuantum atau sistem berbasis medan magnetik diperkirakan bisa menjadi solusi di masa depan.
4. Berapa kecepatan maksimum J-20?
Kecepatan maksimum J-20 diperkirakan mencapai Mach 2,0 dengan jarak tempur hingga 2.000 kilometer.
5. Apa arti strategis insiden ini bagi Asia?
Insiden ini menunjukkan bahwa keseimbangan militer di Asia berubah cepat, dan negara-negara di kawasan harus menyesuaikan sistem pertahanan mereka terhadap ancaman baru.
Kabar menggembirakan datang bagi para guru di seluruh Indonesia karena pencairan tpg triwulan 3 2025…
Publik kembali digemparkan dengan kabar sidang putusan nikita mirzani terbaru yang digelar di Pengadilan Negeri…
Setiap tahun, seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi momen yang paling dinantikan oleh jutaan masyarakat…
Sudah dua dekade lamanya masyarakat Jakarta menikmati tarif Transjakarta yang stabil di angka Rp3.500. Namun…
Kalender tahun 2025 menampilkan hal unik di bulan November. Tidak seperti bulan-bulan lain yang memiliki…
Kasus sidang putusan praperadilan Delpedro menarik perhatian publik sejak pagi hari. Ruang sidang Pengadilan Negeri…
This website uses cookies.